Bila Selalu Mengingat Mati 
K.H. Abdullah
Gymnastiar
Sehalus-halus kehinaan di sisi ALLOH adalah
tercerabutnya kedekatan kita dari sisi-Nya. Hal ini biasanya ditandai dengan
kualitas ibadah yang jauh dari meningkat, atau bahkan malah menurun. Tidak
bertambah bagus ibadahnya, tidak bertambah pula ilmu yang dapat membuatnya takut
kepada ALLOH, bahkan justru maksiat pun sudah mulai dilakukan, dan anehnya yang
bersangkutan tidak merasa rugi. Inilah tanda-tanda akan tercerabutnya nikmat
berdekatan bersama ALLOH Azza wa Jalla.
Pantaslah bila Imam Ibnu
Athoillah pernah berujar, "Rontoknya iman ini akan terjadi pelan-pelan,
terkikis-kikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya tanpa terasa habis tandas
tidak tersisa". Demikianlah yang terjadi bagi orang yang tidak berusaha
memelihara iman di dalam kalbunya. Karenanya jangan pernah permainkan nikmat
iman di hati ini.
Ada sebuah kejadian yang semoga dengan diungkapkannya
di forum ini ada hikmah yang bisa diambil. Kisahnya dari seorang teman yang
waktu itu nampak begitu rajin beribadah, saat shalat tak lepas dari linang air
mata, shalat tahajud pun tak pernah putus, bahkan anak dan istrinya diajak pula
untuk berjamaah ke mesjid. Selidik punya selidik, ternyata saat itu dia sedang
menanggung utang. Karenanya diantara ibadah-ibadahnya itu dia selipkan pula doa
agar utangnya segera terlunasi. Selang beberapa lama, ALLOH Azza wa Jalla, Zat
yang Mahakaya dan Maha Mengabulkan setiap doa hamba-Nya pun berkenan melunasi
utang rekan tersebut.
Sayangnya begitu utang terlunasi doanya mulai
jarang, hilang pula motivasinya untuk beribadah. Biasanya kehilangan shalat
tahajud menangis tersedu-sedu, "Mengapa Engkau tidak membangunkan aku, ya
ALLOH?!", ujarnya seakan menyesali diri. Tapi lama-kelamaan tahajud tertinggal
justru menjadi senang karena jadual tidur menjadi cukup. Bahkan sebelum azan
biasanya sudah menuju mesjid, tapi akhir-akhir ini datang ke mesjid justru
ketika azan. Hari berikutnya ketika azan tuntas baru selesai wudhu. Lain lagi
pada besok harinya, ketika azan selesai justru masih di rumah, hingga akhirnya
ia pun memutuskan untuk shalat di rumah saja.
Begitupun untuk shalat
sunat, biasanya ketika masuk mesjid shalat sunat tahiyatul mesjid terlebih dulu
dan salat fardhu pun selalu dibarengi shalat rawatib. Tapi sekarang saat datang
lebih awal pun malah pura-pura berdiri menunggu iqamat, selalu ada saja
alasannya. Sesudah iqamat biasanya memburu shaf paling awal, kini yang diburu
justru shaf paling tengah, hari berikutnya ia memilih shaf sebelah pojok, bahkan
lama-lama mencari shaf di dekat pintu, dengan alasan supaya tidak terlambat dua
kali. "Kalau datang terlambat, maka ketika pulang aku tidak boleh terlambat
lagi, pokoknya harus duluan!" Pikirnya.
Saat akan shalat sunat rawatib,
ia malah menundanya dengan alasan nanti akan di rumah saja, padahal ketika
sampai di rumah pun tidak dikerjakan. Entah disadari atau tidak oleh dirinya,
ternyata pelan-pelan banyak ibadah yang ditinggalkan. Bahkan pergi ke majlis
ta'lim yang biasanya rutin dilakukan, majlis ilmu di mana saja dikejar,
sayangnya akhir-akhir ini kebiasaan itu malah hilang.
Ketika zikir pun
biasanya selalu dihayati, sekarang justru antara apa yang diucapkan di mulut
dengan suasana hati, sama sekali bak gayung tak bersambut. Mulut mengucap, tapi
hati malah keliling dunia, masyaallah. Sudah dilakukan tanpa kesadaran,
seringkali pula selalu ada alasan untuk tidak melakukannya. Saat-saat berdoa pun
menjadi kering, tidak lagi memancarkan keuatan ruhiah, tidak ada sentuhan,
inilah tanda-tanda hati mulai mengeras.
Kalau kebiasaan ibadah sudah
mulai tercerabut satu persatu, maka inilah tanda-tanda sudah tercerabutnya
taupiq dari-Nya. Akibat selanjutnya pun mudah ditebak, ketahanan penjagaan diri
menjadi blong, kata-katanya menjadi kasar, mata jelalatan tidak terkendali, dan
emosinya pun mudah membara. Apalagi ketika ibadah shalat yang merupakan benteng
dari perbuatan keji dan munkar mulai lambat dilakukan, kadang-kadang pula mulai
ditinggalkan. Ibadah yang lain nasibnya tak jauh beda, hingga akhirnya
meningallah ia dalam keadaan hilang keyakinannya kepada ALLOH. Inilah yang
disebut suul khatimah (jelek di akhir), naudzhubillah. Apalah artinya hidup
kalau akhirnya seperti ini.
Ada lagi sebuah kisah pilu ketika suatu
waktu bersilaturahmi ke Batam. Kisahnya ada seorang wanita muda yang tidak bisa
menjaga diri dalam pergaulan dengan lawan jenisnya sehingga dia hamil, sedangkan
laki-lakinya tidak tahu entah kemana (tidak bertanggung jawab). Hampir putus asa
ketika si wanita ini minta tolong kepada seorang pemuda mesjid. Ditolonglah ia
untuk bisa melakukan persalinan di suatu klinik bersalin, hingga ia bisa
melahirkan dengan lancar. Walau tidak jelas siapa ayahnya, akhirnya si wanita
ini pun menjadi ibu dari seorang bayi mungil. Sayangnya, sesudah beberapa lama
ditolong, sifat-sifat jahiliyahnya kambuh lagi. Mungkin karena iman dan ilmunya
masih kurang, bahkan ketika dinasihati pun tidak mempan lagi hingga akhirnya dia
terjerumus lagi. Demikianlah kisah si wanita ini, ia kembali hamil di luar nikah
tanpa ada pria yang mau bertanggung jawab. Lalu ditolonglah ia oleh seseorang
yang ternyata aqidahnya beda. Si orang yang akan membantu pun menawarkan bantuan
keuangan dengan catatan harus pindah agama terlebih dulu. Si wanita pun
menyetujuinya, dalam hatinya "Toh hanya untuk persalinan saja, setelah
melahirkan aku akan masuk Islam lagi". Tapi ternyata ALLOH menentukan lain, saat
persalinan itu justru malaikat Izrail datang menjemput, meninggalah si wanita
dalam keadaan murtad, naudzhubillah.
Cerita ini nampaknya bersesuaian
pula dengan sebuah kisah klasik dari Imam Al Ghazali. Suatu ketika ada seseorang
yang sudah bertahun-tahun menjadi muazin di sebuah menara tinggi di samping
mesjid. Kebetulan di samping mesjid itu adapula sebuah rumah yang ternyata
dihuni oleh keluarga non-muslim, diantara anak-anak keluarga itu ada seorang
anak perempuan berparas cantik yang sedang berangkat ramaja. Tiap naik menara
untuk azan, secara tidak disengaja tatapan mata sang muazin selalu tertumbuk
pada si anak gadis ini, begitu pula ketika turun dari menara. Seperti pepatah
mengatakan "dari mata rurun ke hati", begitulah saking seringnya memandang, hati
sang muazin pun mulai terpaut akan paras cantik anak gadis ini. Bahkan saat azan
yang diucapkan di mulut Allahuakbar-Allahuakbar, tapi hatinya malah khusyu
memikirkan anak gadis itu.
Karena sudah tidak tahan lagi, maka sang
muazin ini pun nekad mendatangi rumah si anak gadis tersebut dengan tujuan untuk
melamarnya. Hanya sayang, orang tua si anak gadis menolak dengan mentah-mentah,
apalagi jika anaknya harus pindah keyakinan karena mengikuti agama calon
suaminya, sang muazin yang beragama Islam itu. "Selama engkau masih memeluk
Islam sebagai agamamu, tidak akan pernah aku ijinkan anakku menjadi istrimu"
ujar si Bapak, seolah-olah memberi syarat agar sang muazin ini mau masuk agama
keluarganya terlebih dulu. Berpikir keraslah sang muazin ini, hanya sayang,
saking ngebetnya pada gadis ini, pikirannya seakan sudah tidak mampu lagi
berpikir jernih. Hingga akhirnya di hatinya terbersit suatu niat, "Ya ALLOH saya
ini telah bertahun-tahun azan untuk mengingatkan dan mengajak manusia
menyembah-Mu. Aku yakin Engkau telah menyaksikan itu dan telah pula memberikan
balasan pahala yang setimpal. Tetapi saat ini aku mohon beberapa saat saja ya
ALLOH, aku akan berpura-pura masuk agama keluarga si anak gadis ini, setelah
menikahinya aku berjanji akan kembali masuk Islam". Baru saja dalam hatinya
terbersit niat seperti itu, dia terpeleset jatuh dari tangga menara mesjid yang
cukup tinggi itu. Akhirnya sang muazin pun meninggal dalam keadaan murtad dan
suul khatimah.
Kalau kita simak dengan seksama uraian-uraian kisah di
atas, nampaklah bahwa salah satu hikmah yang dapat kita ambil darinya adalah
jikalau kita sedang berbuat kurang bermanfaat bahkan zhalim, maka salah satu
teknik mengeremnya adalah dengan 'mengingat mati'. Bagaimana kalau kita
tiba-tiba meninggal, padahal kita sedang berbuat maksiat, zhalim, atau aniaya?
Tidak takutkah kita mati suul khatimah? Naudzhubillah. Ternyata ingat mati
menjadi bagian yang sangat penting setelah doa dan ikhtiar kita dalam memelihara
iman di relung kalbu ini. Artinya kalau ingin meninggal dalam keadaan khusnul
khatimah, maka selalulah ingat mati. Dalam hal ini Rasulullah SAW telah
mengingatkan para sahabatnya untuk selalu mengingat kematian. Dikisahkan pada
suatu hari Rasulullah keluar menuju mesjid. Tiba-tiba beliau mendapati suatu
kaum yangsedang mengobrol dan tertawa. Maka beliau bersabda, "Ingatlah kematian.
Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang
aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis."
Dan
ternyata ingat mati itu efektif membuat kita seakan punya rem yang kokoh dari
berbuat dosa dan aniaya. Akibatnya dimana saja dan kapan saja kita akan
senantiasa terarahkan untuk melakukan segala sesuatu hanya yang bermanfaat.
Begitupun ketika misalnya, mendengarkan musik ataupun nyanyian, yang didengarkan
pasti hanya yang bermanfaat saja, seperti nasyid-nasyid Islami atau bahkan
bacaan Al Quran yang mengingatkan kita kepada ALLOH Azza wa Jalla. Sehingga
kalaupun malaikat Izrail datang menjemput saat itu, alhamdulillah kita sedang
dalam kondisi ingat kepada ALLOH. Inilah khusnul khatimah. Bahkan kalau kita
lihat para arifin dan salafus shalih senantiasa mengingat kematian, seumpama
seorang pemuda yang menunggu kekasihnya. Dan seorang kekasih tidak pernah
melupakan janji kekasihnya. Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah r.a. bahwa
ketika kematian menjemputnya, ia berkata, "Kekasih datang dalam keadaan miskin.
Tiadalah beruntung siapa yang menyesali kedatangannya. Ya ALLOH, jika Engkau
tahu bahwa kefakiran lebih aku sukai daripada kaya, sakit lebih aku sukai
daripada sehat, dan kematian lebih aku sukai daripada kehidupan, maka
mudahkanlah bagiku kematian sehingga aku menemui-Mu." Akhirnya, semoga kita
digolongkan ALLOH SWT menjadi orang yang beroleh karunia khusnul khatimah. Amin!